DuaGaris Biru merupakan film drama remaja indonesia yang dirilis lada tanggal 11 juli 2019. Yang disutradarai oleh Gina S. Noer dan di produksi oleh Starvision Plus dan film ini di bintangi oleh Angga Aldi Yunanda, Adhisty Zara, dan pemain pemain lainnya. Tidak sedikit film ini banyak mendapat keritikan tajam oleh masyarakat indonesia karena
Review Novel Dua Garis Biru - Karena nggak sempat nonton filmnya, akhirnya saya baca bukunya. Premis ceritanya dua anak remaja yang dimabuk cinta, dan kesalahan besar terjadi. Memporak-porandakan masa depan mereka. Kedua tokoh tersebut bernama Dara dan Bima. Bima murid yang santai, bodoh dan cuek bebek, sementara Dara yang pintar, primadona dan jadi kesayangan guru-guru di sekolahnya. Mereka satu kelas, satu meja dan satu ikatan cinta. Karena orangtua Dara adalah pekerja keras, seorang pebisnis dan pulang ke rumah saat malam hari membuat mereka berdua leluasa. Sekalipun ada asisten rumah tangganya di rumah sih! Dara dari keluarga berada, sementara Bima dari keluarga biasa. Mereka berdua menjalani hari-hari sempurna, saling menerima kekurangan pasangan. Tapi pada suatu waktu di rumah Dara, saat mereka sedang asik bercanda dan tiba-tiba terjadilah sesuatu yang melanggar batas wajar. Saat membuka mata, dan khilaf sejenak keduanya sadar. Hidup mereka sudah berubah, akhirnya keduanya saling menjauh dan butuh waktu untuk sendiri. Perkiraan saya akan putus nih keduanya, hahaha ... ternyata tidak saudara-saudara! Novel Dua Garis Biru Bacaan yang Ringan dan Mengedukasi Novel yang ditulis oleh Lucia Priandarini yang diadaptasi dari naskah sekenario Dua Garis Biru oleh Gina. S Noer sangat enak dinikmati. Halamannya juga tidak banyak, dan dibaca sekali duduk. Konfliknya besar memang, tetapi alur penyelesaiannya membuat saya ingin lekas selesai membaca. Gaya menulisnya enak, lugas dan nggak bertele-tele. Kolaborasi dua orang hebat menghasilkan karya yang luar biasa menggugah. Terlebih ini sebagai novel yang bisa mengedukasi, anak jaman sekarang supaya tidak kebablasan plus jadi ajang perenungan. Perjuangan Bima setelah tahu Dara hamil, bagaimana harus berpura-pura, menyembunyikan dan harus siap menerima kosekwensinya. Dara yang berusaha untuk menelan mimpinya bulat-bulat karena kesalahannya sendiri, dan Bima yang slengekan harus belajar untuk bertanggungjawab. Saya juga suka adegan-adegan kedua orang tua, baik pihak Dara maupun Bima untuk saling menguatkan dan menghadapi bersama. Endingnya tebak sendiri ya? Hahaha ... yang jelas tidak seperti bayangan saya. Tapi ya siapa sih nggak pengen orang yang kita cintai nggak bahagia, sekalipun nggak bersama kita. Ea ... jadi spoiler kan? Meski tema remaja, yang lumayan mendebarkan, novel ini juga diselipi humor-humor lucu versi anak SMA. Jadi apakah Dara akan terus menggapai mimpinya untuk kuliah di Korea? Seperti mimpi sebelumnya, atau mereka berdua harus merawat buah hati mereka? Yang sudah diberi nama 'Adam', oleh ibu Bima. Cus, baca novelnya segera! Sinopsis Novel Dua Garis Biru Bahasa Indonesian Negara Indonesia Penerbit Gramedia Pustaka Utama Penulis Lucia Priandarini & Gina S. Noer Jumlah halaman 212 halaman Dara, gadis pintar kesayangan guru, dan Bima, murid santai yang cenderung masa bodoh, menyadari bahwa mereka bukan pasangan sempurna. Tetapi perbedaan justru membuat keduanya bahagia menciptakan dunia mereka sendiri. Dunia tidak sempurna tempat mereka bisa saling mentertawakan kebodohan dan menerbangkan mimpi. Namun suatu waktu, kenyamanan membuat mereka melanggar batas. Satu kesalahan dengan konsekuensi besar yang baru disadari kemudian. Kesalahan yang selamanya akan mengubah hidup mereka dan orang-orang yang mereka sayangi. Di usia 17, mereka harus memilih memperjuangkan masa depan atau kehidupan lain yang tiba-tiba hadir. Cinta sederhana saja ternyata tak cukup. Kenyataan dan harapan keluarga membuat Bima dan Dara semakin terdesak ke persimpangan, siap menjalani bersama atau melangkah pergi ke dua arah berbeda.* Baca juga Pasta gigi Ibu Hamil
Dalam film Dua Garis Biru, Dara dan Bima adalah dua tokoh utama kita. Pasangan ini tipikal dua remaja yang jatuh cinta pada umumnya. Ke mana-mana bersama, saling membela, dan tak ragu menunjukkan perhatian di depan teman-temannya. Ajakan Dara kepada Bima untuk ikut pulang ke rumahnya pada suatu hari, menjadi titik mula petaka mereka berdua dan keluarganya. Dara hamil. Kemesraan yang biasanya ditunjukkan sehari-hari di sekolah perlahan pudar. Dua sejoli ini masih menyembunyikan hal tersebut sampai akhirnya, rahasia tak bisa lagi dikubur. Kekagetan dan kekecewaan luar biasa hadir dari orang tua keduanya. Dara, lahir dari keluarga cukup berada. Ibunya, Rika Lulu Tobing wanita karier yang begitu perfeksionis dan sudah menyiapkan segala hal bagi anaknya serta seorang ayah pebisnis. Lain dengan Bima yang berasal dari keluarga sederhana. Ibunya penjual pecel Cut Mini, bapaknya pensiunan, mereka tinggal di perkampungan yang jauh dari gedung-gedung tinggi di Jakarta. Cara para orang tua menghadapi masalah ini pun berbeda. Keluarga Bima boleh dibilang cukup religius. Perbuatan yang dilakukan Bima disebut sebagai dosa. Cukup butuh waktu bagi sang ibu untuk akhirnya bisa lebih tenang dan memahami, apa yang terjadi pada anak bungsunya itu tetap saja ada kesalahan dari bagaimana ia berkomunikasi dengan anaknya. Setidaknya dialog-dialog itu hadir dan menghangatkan. Sebuah kontemplasi, bukan diisi khotbah dan pertobatan semata. Begitupun dengan pihak keluarga Dara. Mengetahui putri sulungnya yang cerdas dengan sejuta mimpi itu hamil, seketika bayangan itu runtuh lantaran membayangkan kehamilan sontak merusak masa depan. Dari perbedaan kelas ini pula muncul bagaimana penentuan keputusan hadir. Bagaimana satu persatu keputusan yang diambil bermula dari luapan emosi, perlahan digiring untuk membuka pintu dialog yang lebih lebar dan dewasa. Kisah Dara dan Bima mengingatkan kita pada Juno 2007, gadis SMA pecinta musik rock yang positif hamil. Juno juga bukan remaja yang sembarangan dalam bergaul. Namun, tentu saja Dara dan Juno dua remaja berbeda mengingat banyak unsur yang melekat dalam kultur keduanya. Tapi bagaimana Dara dan Juno mencoba menerima perubahan fisik, menghadapi segala persoalan dalam kondisi hamil, tanpa keluhan adalah luar biasa. Keputusan Dara mempertahankan kehamilannya membuat dirinya harus berhenti dari sekolah. Kritik ini pun disampaikan Gina lewat pernyataan keras Rika kepada pihak sekolah mengapa hanya putrinya yang bisa dapat sangsi sedangkan anak laki-laki masih bisa melanjutkan sekolah. Dalam film ini tak begitu ditunjukkan bagaimana kehamilan seorang remaja mengundang sinis atau perbincangan miring di lingkungan sosial. Gina mengemas kisah Dara dan Bima bukan sebagai tragedi. Drama keluarga ini diramu kental dengan nuansa keseharian. Kritik-kritik sosial pun diluncurkan demikian halus dari berbagai dialog juga adegan-adegan, serta beberapa analogi. Kepolosan dan cara Dara serta Bima mencoba lebih dewasa dengan naifnya menghadapi masalah mereka terasa natural—sebagaimana cara berpikir anak SMA. Bima yang dasarnya tak terlalu pandai—berkebaikan dari Dara—juga kerap menunjukkan kenaifannya di depan banyak orang. Termasuk soal penafsirannya terhadap makna dua garis biru. Di sinilah Ginatri S. Noer atau Gina S. Noer menyajikan sebuah cerita. Gina menyodorkan sebuah masalah dan juga menawarkan cara. Betapa anak remaja melakukan kesalahan yang cukup fatal, orang tua tetap punya peran penting. Bukan lantas menyalahkan dan merutuki bencana. Gina menjalin cerita yang begitu solid hingga akhir. Cerita yang sudah kuat tersampaikan dengan baik lewat peran para aktor muda dan senior yang luar biasa. Sebut saja Adhisty Zara, Angga Yunanda, Cut Mini Theo, Arswendy Bening Swara, Dwi Sasono, Lulu Tobing, Rachel Amanda, dan Maisha Kanna. Dua Garis Biru adalah debut Gina sebagai sutradara. Selama ini namanya sudah malang melintang di banyak film sebagai penulis cerita. Dua Garis Biru menjadi sebuah film remaja-keluarga yang menggedor orang tua untuk tak menutup pintu dari masalah anak-anak mereka. Dua Garis Biru Sutradara Gina S. Noer Produksi Wahana Kreator, Starvision Penulis Gina S. Noer Pemain Adhisty Zara Zara JKT48, Angga Yunanda, Cut Mini Theo, Arswendy Bening Swara, Dwi Sasono, Lulu Tobing, Maisha Kanna, Rachel Amanda, Asri Welas Durasi 113 menit Klasifikasi LSF 13+ Rilis di bioskop 11 Juli 2019 TEMPO STUNTING ACEH 31 PERSEN, SATU TINGKAT DIATAS PAPUA DAN PAPUA BARATAIR PARIT PEMBUANGAN DI ACEH UTARA BERWARNA MERAH DARAHDETIK DETIK ROHINGNYA TERLIHAT DI PERAIRAN BIREUEN ACEHBENDERA BULAN BINTANG BERKIBAR DI LHOKSEUMAWE
DuaGaris Biru mengangkat kisah pernikahan dini yang menjadi polemik penting di Indonesia. Kesiapan bibit (latar belakang), bebet (penampilan), bobot (kualitas diri) seperti pada filosofi Jawa menjadi barometer dasar sebelum berumahtangga. “Butuh seumur hidup untuk merencanakan dan menata hidup, dan hanya sedetik pilihan yang salah bisa meruntuhkan semuanya” hal 44 Secara umum, novel ini menceritakan tentang Dara dan Bima yang melakukan hal di luar batas. Akibatnya, mereka harus menanggung segala konsekuensinya, mulai dari berhenti sekolah hingga rencana masa depan yang terancam berantakan. Tak hanya itu, kedua orang tua mereka juga terkena imbasnya. Merasa gagal menjadi orang tua, menghadapi omongan tetangga, dan harus menelan pil pahit bahwa anak kesayangan justru menyalahgunakan kepercayaan yang telah diberikan. Seluruh dampak nyata dari pacaran yang melebihi batas diuraikan dalam novel ini. Harapannya, orang tua dapat memberikan pendidikan seks pada putra putrinya. Remaja pun diharapkan dapat berpikir ulang tentang tindakan mereka, karena segala sesuatu akan mendatangkan banyak dampak, entah itu postif atau negatif. “Tapi Dara sadar, kebebasan juga adalah penjara. Setiap pilihan tidak bebas dari konsekuensi.” hal 25 Dua Garis Biru adalah novel yang dibuat berdasarkan skenario film yang ditulis oleh Gina S. Noer. Tentunya kamu sudah pernah mendengar film ini telah tayang dan mendapatkan komentar positif para penontonnya. Kamu sudah nonton belum? Kalau saya sih belum, hehe. Oleh karena itu, saya beli novelnya. Sepertinya saya akan lebih menikmati kisah Dara dan Bima lewat novel ketimbang film. Membaca novel ini, saya jadi teringat review dari para kritikus film. Saya pikir, seluruh komponen cerita yang ada di film dimasukkan semuanya ke dalam novel. Sebut saja strawberry, ondel-ondel, dan poster reproduksi. Tentu saja, Nik, ini kan adaptasi, hehe. Di kepala saya seperti terputar film Dua Garis Biru, versi imajinasi saya tentunya. Karakter kedua tokoh utama terasa familiar, dan mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Kepolosan mereka sangat tecermin dari perilaku dan dialog yang dilakukan. Sikap mereka dalam menghadapi masalah juga sesuai dengan umur mereka. Terasa sekali ketakutan mereka ketika Dara ketahuan hamil, ketika mereka berselisih paham, serta saat menghadapi berbagai tekanan dari orang tua. “Bu, maafin Bima ya. Bima berdoa, kalau Bima masuk neraka, Ibu jangan sampai ikut.” hal 180 Saya suka sekali dengan dialog yang dilontarkan setiap tokoh. Kata-katanya selalu mengena dan bermakna. Contohnya adalah dialog Bima pada ibunya yang saya kutip di atas. Betapa polos dan rasa bersalah Bima begitu mengena. Anak yang dianggap tidak pernah serius dalam melakukan berbagai hal, ternyata dapat mengatakan hal menyentuh seperti itu. Selain itu, ada beberapa sindiran yang diselipkan dalam novel ini. “Bapak Bima basa-basi. Ia tahu anaknya, dan sebagian besar anak muda di kampung itu jarang ke masjid. Mungkin hanya saat magrib.” hal 65 “Ia bahkan tidak bisa bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Bagaimana mau bertanggung jawab atas orang lain?” hal 49 “Pada saat seperti itu, biasanya Bima mencari-cari pembenaran mengapa ia merasa sekolah bukan tempat yang nyaman untuknya. Sejujurnya, Bima merasa tidak punya alasan menyenangkan lain untuk berangkat sekolah. Bisa dibilang, ia sekolah karena anak-anak lain juga melakukannya.” hal 9 Meskipun begitu, saya merasa jalannya novel ini terasa sangat cepat. Yah, Dua Garis Biru hanya setebal 208 halaman saja. Saya baca sebentar, masuk klimaks, eh kok sudah selesai aja. Andai saja kehidupan Dara dan Bima selepas mereka memutuskan untuk bersama lebih digali lagi, menurut saya akan lebih menarik. Hal itu sekaligus dapat menjadi pembelajaran pada remaja bahwa menikah bukan hal yang mudah, apalagi menjadi orang tua, bebannya bisa berkali-kali lipat. Mungkin karena novel ini ditulis berdasarkan film, sehingga isinya begitu singkat. Saya sangat memahami bila film menjadi singkat dan padat karena terbatas pada durasi. Harapan saya sih, novel ini benar-benar bisa detail. Dua Garis Biru ini bagus. Saya suka dialognya, penokohannya, amanatnya, alur ceritanya, tapi kok kurang detail saja dan terasa kilat, hehe. Kisah Dara dan Bima diakhiri dengan bijak dan realistis oleh penulis. Yah, saya memaklumi, bahwa masa depan adalah sesuatu yang sangat penting, keberadaan putra mereka juga tak kalah penting. Kedua tokoh ini telah membuat pilihan terbaik untuk masing-masing. Saya cukup puas. “Tidak ada yang paling membunuh selain rasa bersalah dan penyesalan.” hal 56 Saya pikir itu saya review saya tentang novel ini. Kalau menurut kamu bagaimana? Apakah kamu menonton filmnya saja atau novelnya saja, atau malah keduannya? Bagaimana pendapatmu? Bisa loh dituliskan di kolom komentar. Terima kasih sudah membaca. Judul Dua Garis Biru Penulis Lucia Priandarini Cetakan Pertama, 2019 Penerbit Gramedia Pustaka Utama Halaman 208 halaman ISBN 978-602-06-3186-8 Padatopik kali ini, kita akan membagi pembahasan utama kedalam 2 bagian. Seperti judul yang sudah kita lihat bersama, kita akan membahas mengenai Peta Kota Medan yang juga berisi mengenai sejarah (singkat), dan lokasi salah satu kota terbesar di Negara Indonesia, yaitu Medan.Kebetulan, kota ini merupakan kota saya, yang dimana sudah puluhan tahun saya bernafas di kota ini. Data dari UNICEF per Juli 2018 menyebutkan bahwa 650 juta perempuan di seluruh dunia yang hidup saat ini menikah sebelum usia 18 tahun. Jumlah pernikahan dini tertinggi ada di Asia Selatan. Satu dari lima perempuan menikah sebelum usia 15 tahun dan 45% dari perempuan berusia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Angka ini sebenarnya menyedihkan. Tapi, pernahkah kita memberikannya perhatian? Pernahkah kita berpikir bagaimana cara menurunkan atau bahkan menghapuskan angka nikah dini? Isu inilah yang coba diangkat oleh Dua Garis Biru. Film ini ditulis dan disutradarai oleh Ginatri S. Noer yang telah melahirkan beberapa karya seperti Habibie dan Ainun, Ayat-ayat Cinta, dan Posesif. Ada beberapa bintang muda maupun kawakan yang membintangi Dua Garis Biru seperti Zara JKT 48, Angga Aldi Yunanda, Cut Mini, Lulu Tobing, Dwi Sasono, Ligwina Hananto, hingga Asri Welas sebagai cameo. Soundtrack-nya pun sangat indah mulai dari Biru oleh Banda Neira, Growing Up oleh Rara Sekar, dan Jikalau oleh Naif. Sebuah paduan yang sempurna. Dara dan Bima adalah pelajar kelas 3 SMA yang sebentar lagi akan melaksanakan Ujian Nasional. Sepasang kekasih ini berada di kelas yang sama bahkan duduk sebangku. Dara yang pintar berasal dari keluarga berkecukupan. Bima yang nilainya selalu jelek berasal dari keluarga tidak mampu. Perbedaan latar belakang tidak menjadikan hubungan mereka canggung. Seperti layaknya dua remaja yang dimabuk cinta monyet, Dara dan Bima selalu menghabiskan waktu bersama hingga akhirnya hubungan sex di luar nikah itu terjadi. Mereka sempat berada di fase denial dan saling mendiamkan. Baik Dara maupun Bima sama-sama takut dengan kondisi yang tidak mereka harapkan. Apalagi Dara adalah anak berprestasi yang dipercaya dengan baik oleh kedua orangtuanya. Namun Bima menenangkan dengan mengatakan orangtua pun memiliki batasan dalam merasakan malu maupun marah. Orangtua mereka pasti memihak mereka. Dara dan Bima berpikir terlalu positif karena menganggap orangtua mereka akan maklum. Namun kondisi selanjutnya tidak mereka duga. Inilah titik balik dari hubungan maupun masa depan mereka. Dara dikeluarkan dari sekolah karena dianggap membuat malu. Orangtua Dara merasa sekolah tidak adil karena Bima tetap dibiarkan menuntut ilmu. Orangtua Bima membela anaknya dengan mengatakan bila Bima tidak berpendidikan, bagaimana ia akan jadi ayah di masa depan? Ini adalah sesuatu yang jamak kita temukan pada kasus hamil di usia dini maupun pernikahan dini. Perempuan seperti disuruh menanggung bebannya sendiri. Padahal perempuan juga sama berhaknya untuk tetap berpendidikan meski dalam kondisi hamil. Dua Garis Biru tak hanya berhasil menyajikan kenyataan pahit mengenai isu hamil di luar nikah dan pernikahan usia dini. Film ini juga mengangkat isu soal kesetaraan gender, hubungan antara orangtua dan anak, serta betapa tak sederhananya cinta itu dijalani. Bima mungkin berjanji untuk tidak meninggalkan Dara. Tapi dengan mudahnya janji itu ia ingkari. Ia justru menunjukkan bahwa ia bukan orang yang tepat untuk menjadi suami apalagi seorang ayah di usia begitu muda. Ia menguatkan fakta bahwa pernikahan dan kehamilan memang bukan untuk anak seusianya. Sebaliknya Dara adalah gambaran kebanyakan perempuan dalam kasus hamil di luar nikah maupun pernikahan usia dini. Jangan bicara jauh-jauh soal stigma sosial. Tapi mari kita bahas kondisi Dara secara personal. Kehamilan di usia Dara berisiko tinggi dan rentan keguguran. Ia terus ketakutan apakah impiannya untuk kuliah di Korea akan tercapai. Ingin sekolah, tapi hanya bisa di rumah. Perubahan tubuhnya yang drastis membuatnya syok. ASI yang merembes tiba-tiba padahal waktu melahirkan masih lama hingga perut yang sering kram tentu menganggunya. Walau Dara kuat dan bertekad memertahankan kehamilan, ada masa ia merasa sangat down. Apalagi kata-kata Bima yang menusuk Dara bahwa ia menggunakan air mata sebagai senjata. Angga Yunanda & Zara JKT48 Starvision Harus diakui, yang menjadikan naskah dari film ini brilian tak hanya konflik soal Dara dan Bima semata. Bagaimana orangtua Dara dan Bima belajar untuk menerima kenyataan perlahan-lahan pun sangat menarik dinikmati. Ibunya Dara mengalami fase denial yang jauh lebih lama. Hubungannya dengan Dara hancur berkali-kali meski berhasil diperbaiki. Sebagai seorang ibu, ia merasa terpojok. Di satu sisi ingin menyelamatkan Dara agar tidak merasakan kesulitan tetapi di sisi lain ia justru tidak menghargai keputusan Dara dan Bima. Begitu pula ibunya Bima yang syok. Meski ia tak berharap mendapatkan cucu di usia putranya yang begitu muda, ia bersikeras memertahankan anak itu. Ligwina Hananto yang sebenarnya adalah seorang perencana keuangan ternyata juga mampu berakting dengan sangat baik sebagai seorang dokter kandungan. Caranya menjelaskan kondisi kehamilan Dara adalah salah satu konten edukasi sex yang sangat penting disimak. Tutur katanya tak menggurui dan justru sedikit menggelitik. Ini karena akhir-akhir ini Ligwina menjajal profesi stand up comedy. Ia berhasil menjelaskan konten edukasi sex dalam Dua Garis Biru tanpa membuat penonton merasa jenuh ataupun bingung. Dua Garis Biru tak hanya berhasil mengangkat topik yang dianggap tabu oleh banyak orang tetapi juga membuka mata kita betapa pentingnya isu ini dibicarakan. Ketika orangtua membesarkan anaknya, bukan hanya soal apakah ia sehat atau rajin belajar saja yang penting. Menanyakan apakah ia sudah beribadah atau belum juga tidak cukup. Selain pendidikan di sekolah maupun pendidikan agama di rumah, sudah sepatutnya orangtua juga membicarakan edukasi sex. Anak-anak tak hanya perlu tahu apa bedanya lelaki dan perempuan dari organ reproduksinya saja. Mereka juga harus tahu bahwa tubuh mereka belum siap memiliki bayi dan ancamannya adalah nyawa. Tetapi ini bukan cuma urusan orangtua yang memiliki anak-anak saja. Kita semua bertanggung jawab terhadap generasi muda kita. Kita harus mendorong edukasi sex di ruang publik dan membicarakan hal-hal yang tabu agar isu ini tak tenggelam tanpa jalan keluar. Walaupun ending film ini bukanlah jenis happily ever after yang disukai oleh publik, sebenarnya ini ending terbaik yang bisa diambil. Ending dari Dua Garis Biru akan mengajarkan pada kita semua bahwa masa depan seorang perempuan tak harus berhenti atau hancur hanya karena ia memiliki bayi. Dua Garis Biru memberikan harapan kepada perempuan-perempuan di luar sana yang ada di posisi Dara untuk melanjutkan hidupnya dan menjadi versi terbaik dirinya. Masih ada kesempatan kedua dari kehancuran yang sempat ia jalani.